Sunday, April 22, 2007

Resensi Buku: Dari "Local Wisdom" ke "Unity in Diversity"

First published in
Kompas, Monday, April 23, 2007

Resensi Buku
Dari "Local Wisdom" ke "Unity in Diversity"

Oleh Ismatillah A Nuad

Indonesia adalah negara-bangsa pluralistik dan multikulturalistik yang dimukimi oleh beragam etnis, bahasa, agama, dan ideologi yang berbeda serta letak geografis antardaerahnya karena dipisahkan oleh belasan ribu pulau. Seorang peneliti Eropa suatu ketika pernah merasa heran, seperti diceritakan Robert Cribb (2001), mestinya ada terdapat banyak negara pula, tetapi kenyataannya hanya ada satu negara, yaitu Indonesia.

Karena itu, dalam negara-bangsa ini, risiko terjadinya konflik di antara masyarakatnya sangatlah besar. Suatu kenyataan yang tak bisa dimungkiri, sejumlah konflik pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia: konflik di Kalimantan Barat, Maluku, Poso, Aceh, Papua, dan Timor Timur yang akhirnya lepas dari Indonesia. Sejumlah konflik itu masing-masing memiliki geneologi dan anatominya tersendiri. Ada yang dipicu karena perbedaan dan kesenjangan etnis, agama, politik, dan persoalan-persoalan SARA lainnya.

Perihal konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia beserta kearifan lokal apa saja yang sesungguhnya dapat memberi kontribusi besar bagi perdamaian terekam dan dijelaskan dalam buku ini. Konflik-konflik itu umumnya diamati semenjak pasca-Soeharto tumbang pada tahun 1998.

Secara khusus, penelitian dalam buku ini dilakukan secara simultan pada Januari-April 2006. Seperti yang disebutkan dalam judulnya, konflik-konflik yang direkam dan diulas dibatasi hanya di tiga daerah, yakni Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Daerah-daerah itu dipilih karena sangat rawan dengan konflik.

Menelusuri akar konflik

Ada kesan konflik-konflik yang terjadi di Indonesia diakibatkan iklim kebebasan yang terbuka pascareformasi tahun 1998. Dalam arti selalu mengaitkan konflik-konflik yang ada pasca-Soeharto tumbang dari jabatan presiden. Padahal, pandangan seperti itu tidaklah benar karena kenyataannya konflik-konflik yang terjadi di Indonesia tak hanya terjadi pasca-Soeharto, melainkan juga terjadi pada masa-masa pemerintahan Soeharto.

Menurut Tamrin Amal Tomagola dalam buku ini, sesungguhnya Nusantara tak pernah sepi dan sunyi dari ledakan-ledakan konflik komunal sejak tahun 1950-an. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi baik di masa Soekarno maupun era Soeharto. Konflik antarsuku di Kalimantan telah mulai terjadi sejak tahun 1950-an dalam masa Orde Lama dan juga dalam era Orde Baru dengan meledaknya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir di Sampit, Kalimantan Tengah, adalah yang keenam belas kalinya.

Masih di zaman Orde Baru, terjadi pelbagai pertikaian bernuansa agama di Jawa, seperti Peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, konflik antarumat beragama secara terbatas di Halmahera Utara yang sudah terjadi sejak tahun 1960-an. Karena itu, tidak benar bahwa konflik komunal di Indonesia, khususnya di kawasan Timur, baru marak pasca-Orde Baru (halaman 272).

Berkaitan dengan geneologi terjadinya konflik di Indonesia, banyak pengamat telah menelusurinya, baik secara filosofis, sejarah, antropologis, maupun sosiologis. HS Nordholt, seperti dikutip Alpha Amirrachman, mengatakan bahwa kekerasan di Indonesia pada derajat tertentu merupakan warisan zaman kolonial Belanda. Menurut dia, ada dua gelombang kekerasan yang menyapu Indonesia pada zaman kolonial. Gelombang pertama terjadi di sepanjang akhir abad ke-17 ketika VOC mengupayakan monopoli perdagangan dengan menguasai daerah-daerah strategis, seperti Malaka, Makasar dan Banten. Gelombang kedua terjadi antara tahun 1871 -1910 ketika penduduk pribumi mengalami era perluasan imperialis. Dalam periode inilah perang kolonial berkecamuk sebanyak 32 kali, perang Aceh merupakan salah satunya. Saat itu Belanda mengerahkan lebih dari 30.000 pasukan dan sepertiga anggaran dihabiskan Belanda untuk keperluan operasi militer. Suasana kekerasan inilah yang menurut Nordholt diwariskan Belanda kepada Indonesia (hal 3), warisan kekerasan itu kemudian secara terus-menerus terbangun serta terpelihara dari generasi ke generasi dan sulit untuk dihilangkan dari benak kesadaran masyarakat.

Namun, analisis itu dibantah oleh George Junus Aditjondro dengan mengutip dua antropolog Eropa, Hohe dan Ramijsen, setelah menganalisis mitos-mitos dan upacara-upacara di Maluku. Mereka berpendapat bahwa ada beberapa tradisi masyarakat lokal yang sesungguhnya merupakan akar-akar kekerasan. Misalnya, tradisi pela keras atau pela minum darah di Maluku memiliki potensi yang dapat mempertajam konflik. Hal itu disebabkan persatuan antara dua pihak yang terikat persekutuan pela dilandasi pada oposisi terhadap pihak ketiga, di mana sebagian penduduk pribumi dahulu menggalang solidaritas dengan membangun semangat perlawanan terhadap pihak luar (hal 311). Tradisi lokal serupa juga ditemui dalam etnik Melayu yang memiliki tradisi amok, yang menyiratkan bahwa mereka siap beradu jiwa ketika kesabaran mereka berbalas aniaya. Sebagian etnik Madura juga dikenal dengan tradisi carok, yang siap bertaruh nyawa demi kehormatan. Semua tradisi itu secara langsung atau tidak merupakan akar dan melanggengkan konflik-konflik komunal di Indonesia.

Konflik dan kekerasan di Indonesia, baik di masa kolonial, masa kemerdakaan, maupun hingga zaman Indonesia modern dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik jenis pertama biasanya berlangsung antara negara/aparat negara dengan warga negara, baik secara individu maupun secara kelompok. Atau negara memiliki kepentingan atas terjadinya konflik di daerah, dalam arti konflik yang sengaja diciptakan negara untuk kepentingan yang lebih makro. Adapun konflik jenis kedua adalah konflik horizontal antarkelompok masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia. Biasanya konflik jenis ini dilandasi oleh sentimen subyektif yang sangat mendalam berupa sentimen kesukuan (etnik) ataupun sentimen keagamaan.

Dari dua jenis itu, konflik horizontal lebih dominan. Sebuah konflik yang diakibatkan dari kebudayaan, ras, etnik, dan agama yang berbeda. Karena konflik terlahir dari nilai-nilai kebudayaan yang berbeda, sebuah resolusi konflik yang dicari dan digali dari nilai-nilai lokal mestinya harus ada. Dari sisi inilah sesungguhnya pentingnya buku ini.

Kearifan lokal

Menurut John Haba, kearifan lokal ialah sebuah kebudayaan yang mengacu pada pelbagai kekayaan budaya itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenali, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat (hal 336).

Dalam beberapa kasus dijumpai adanya aspirasi dari komunitas atau masyarakat tertentu yang terlibat konflik untuk memperkuat identitas dan kapasitasnya berdasarkan aspek geografis. Contohnya, sebagian masyarakat di Maluku menginginkan adanya desa adat dan penguatan peran baparaja dalam pencegahan konflik secara mandiri dan alami. Di situ peranan tokoh-tokoh adat memiliki peran signifikan sebagai mediator ketika terjadi perselisihan dan persengketaan tanah.

Ada juga tradisi pela dan gandong yang memiliki sisi-sisi positif dan konstruktif untuk mendorong rekonsiliasi. Pela lahir berdasarkan ikatan perjanjian persahabatan dan persaudaraan dua desa atau lebih, sementara gandong menyiratkan persahabatan yang terbentuk karena adanya kesadaran geneologis.

Dalam etnik Madura ada tradisi naik dango pascaperayaan panen, yaitu ketika komunitas Madura secara terbuka memberikan ucapan selamat kepada komunitas Dayak. Ada tradisi basaru/nyaru samangat yang dimaksudkan untuk mengembalikan semangat positif berupa kedamaian, keamanan, dan ketenteraman. Selain itu ada upacara naik dango, sebuah upacara adat yang biasa dilakukan masyarakat Dayak untuk merayakan dan mensyukuri hasil panen dengan mengundang semua elemen masyarakat termasuk etnik Madura (hal 14 -15).

Kearifan lokal dalam bentuk lain juga dapat digali dengan mencari persamaan di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Di Maluku, misalnya, tradisi yang menonjol adalah kompetisi dan festival olah vokal, grup musik, dan olahraga, seperti tinju dan atletik. Atau inisiatif seorang guru madrasah, Irwan Tahir Manggala, yang menggelar pertandingan sepak bola multireligius antara kelompok Muslim dan Kristen di kota Ambon. Kebanggaan atas prestasi dan semangat sportivitas itu diharapkan akan mempersempit jurang perbedaan (hal 12).

Perdamaian dan pencegahan konflik akan lebih dapat dirasakan lagi manakala kearifan-kearifan lokal itu kemudian didukung, difasilitasi, dan dibantu oleh peran negara dan pemerintah. Negara dan pemerintah bukannya malah mengambil keuntungan atau sengaja menciptakan konflik di daerah untuk kepentingan yang lebih makro. Dalam kasus perjanjian Malino, misalnya, mengapa perjanjian itu gagal? Karena negara dan pemerintah setengah hati untuk menghentikan konflik. Perjanjian itu banyak bersifat seremonial, bersifat proyek, tetapi substansi permasalahannya justru dinafikan. Selanjutnya proposisi pemimpin yang menginginkan perdamaian masih jauh lebih kecil dari proposisi mereka yang ingin terus berperang karena mengeruk berbagai keuntungan.

Dengan hadirnya buku ini mudah-mudahan berbagai pihak—tak hanya negara dan pemerintah, tetapi juga pemimpin dari kelompok-kelompok yang selama ini terlibat konflik—dapat mengambil hal-hal positif dari rekaman, ulasan, dan resolusi konflik yang dijelaskan di dalamnya. Buku ini memberi kontribusi yang baik soal bagaimana cara mencegah konflik dan upaya-upaya perdamaian apa yang harus segera dibumikan sehingga negara-bangsa Indonesia tak lagi selalu dirundung tangis karena konflik dan peperangan. Akan tetapi, bagaimana perbedaan (diversitas) itu dapat menjadi sebuah sinergi untuk bersama-sama membangun negara-bangsa ini sehingga dapat keluar dari krisis dan keterpurukan.

Ismatillah A Nuad Peminat Karya-karya Sejarah

www.kompas.com/kompas-cetak/0704/23/pustaka/3469596.htm

1 comment:

Anonymous said...

salam..
terima kasih atas bacaan yang sangat membantu ini, pak,, saya ingin mengetahui lebih jauh tentang "kearifan lokal".. tolong tunjukkan referensi apa yang tepat.. terima kasih