Thursday, January 05, 2006

TEACHING HUMAN RIGHTS AT SCHOOL?

First published in The Jakarta Post, May 2, 2005

TEACHING HUMAN RIGHTS AT SCHOOLS?

Alpha Amirrachman, Jakarta

During my time as a teacher at some non-formal education institutions, I found the students to be relaxed in their expression of ideas. Jokes that mocked the New Order regime were carefully timed during discussions, making us chuckle. At public schools, however, students were generally tense. Jokes were told, but naturally not about the New Order regime.

When I touched on the issues of human rights, students showed interest. But there was no student who raised questions.

Lessons on human rights can be stimulating for students, but which method of teaching works best?

In light of the fact that the world has been rocked by terrorism -- which disgraces human dignity through its violent acts and the prejudice and discrimination that it incites -- this is a critical question. While democratic values are now being adopted here, human rights violations continue in various new forms.

Indeed, there are now many school textbooks that cover human rights issues, but teachers lack the experience to teach human rights values to students according to their stage of development, which is pedagogically essential to effectively impart the values to students.

Betty A. Reardon in her book Educating for Human Dignity: Learning about Rights and Responsibilities, outlines practical educational activities to be practiced in classrooms based on the developmental level of elementary and secondary school students.

For childhood level (ages five to eight), the main concepts and values are rules, order, respect, fairness, diversity, cooperation and personal responsibility; and the discussion topics are inequality, unfairness and harm.

At this stage, the concepts of social order, fairness, community and responsibility are introduced through the practicality of classroom rules. It should be imparted that observing agreed rules is important so that everybody can have opportunities to engage in all learning activities. In terms of diversity, students are exposed to the notion that the beauty of the whole family is characterized by the willingness of its members to recognize their differences.

For later childhood (ages nine to 11), the main concepts and values are law, citizenship, community rights, constitution, freedom, social responsibility; the discussion topics are prejudice, discrimination, poverty and injustice. At this stage, the teacher introduces the idea that a citizen has both rights and responsibilities, thus introducing the basic concept of citizenship.

In classrooms, through drama or puppetry, a scene can be shown where a child is denied participation in class activities due to specific reasons, followed by discussion on how prejudice and discrimination can hamper people's right to receive a decent education.

For adolescents (ages 12 to 14), the main concepts and values are justice, equality, equity, global responsibility and international law; while the discussion topics are ethnocentrism, racism and authoritarianism.

In classrooms, teacher can ask students to list things that can make the world better and compile human rights news and stories from the media that reflect their wishes, such as the change from authoritarianism to democracy in some countries.
For youths (ages 15 to 17), the main concepts and values are moral exclusion and inclusion, moral responsibility, global citizenship and ecological responsibility; the discussion topics are ethnocide, genocide, torture, political repression and environmental abuse.

For example, students can be encouraged to get involved in a movement that pushes the government to outline new regulations that preserve the right to a sustainable environment. Their involvement in such activities can be stimulating as it enhances both their organizational skills and their human rights awareness.

Above all, if we are serious about making this nation more peaceful, civilized and democratic of its own accord, it is vital for the government -- with the help of any concerned non-government organization -- to start institutionalizing both the conceptual awareness and practical skills of human rights education through capacity building such as the training of teachers and workshops. Locally rooted educational activities, however, should further be designated, encouraging the emergence of a genuine awareness.

Unlike during the New Order regime, now we have the opportunity to make this happen. The question is: Do we have the commitment and will to pursue this?


WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEPEdisi: Bahasa Indonesia
Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan olehRadio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.
---------------------------------------------------------------------
Edisi ini diterbitkan pada:
Kamis 05 Mei 2005 12:00 UTC


* KESADARAN HAM HARUS DIMULAI DI SEKOLAH DASAR

Kesadaran hak asasi manusia di kalangan remaja Indonesia harus ditingkatkan. Salah satunya dengan memberikan pendidikan HAM mulai dari sekolah dasar. Dengan tumbangnya rejim orde baru, ada kesempatan untuk mengembangkan pengertian HAM dan ideologi Pancasila yang tidak diindoktrinasi atau disalahgunakan oleh pemerintah. Demikian Alpha Amirrachman, pakar pendidikan di Jakarta, kepada Radio Nederland:

Alpha Amirrachman [AA]:Sekarang ini dengan tumbangnya rejim orde baru, ada kesempatan sekarang untuk sektor pendidikan itu memperkenalkan hak-hak asasi manusia. Dikarenakan saya sendiri memiliki anggapan bahwa memiliki kekuatan yang luar biasa pendidikan untuk menjadi agen perubahan. Pengenalan hak asasi manusia bisa melalui pendidikan dan diupayakan sedini mungkin bagi anak didik, untuk mengenal hak asasi manusia.

Radio Nederland [RN]: Tetapi pak yang mau diajarkan itu apa? Metodenya apa?

AA: Kalau dulu itu ada yang disebut dengan pendidikan Pancasila, pendidikan PMP. Lalu berubah menjadi PPKN. Dan sekarang berubah menjadi pendidikan kewarganegaraan. Itu diajarkan juga di situ pelajaran hak-ahak asasi manusia. Saya kira kalau secara kurikulum, secara teoretis, saya kira sudah ada break through (dobrakan,Red.). Cuma yang menjadi masalah bagaimana implementasinya di kelas-kelas. Dan saya kira itu tidak mudah, karena selama 30 tahun guru-guru itu dibentuk dididik hanya sebagai transmitter daripada knowledge saja. Tidak sebagai fasilitator, sebagai motivator.

Jadi walaupun buku-buku ini sekarang sudah cukup baik, di mana pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara misalnya soal Marsinah, soal Udin, soal Semanggi. Bahkan soal yang tempo hari sempat sangat tabu untuk dibicarakan. Misalnya pembantaian G30S PKI, itu juga diuraikan secara gamblang di buku-buku sekarang. Dan itu baru mulai ini diluncurkan dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi.

Pelajaran hak asasi manusia bisa dimasukkan di dalam kewarganegaraan. Karena bagaimana pun juga sebuah negara membutuhkan ideologi. Dan ideologi yang kita miliki selarang ini adalah Pancasila. Yang salah tempo hari pada jaman orde baru, bukan Pancasilanya. Tetapi Pancasila itu dimanipulasi oleh rejim orde baru untuk mendukung kekuasaan mereka. Nah sekarang dengan adanya era reformasi, hak-hak asasi manusia itu dimasukkan ke dalam pelajaran kewarganegaraan.

RN: Bagi saya itu yang masih belum jelas bedanya apa? Apa yang ingin bapak sampaikan lebih banyak kepada anak-anak?

AA: Anak-anak pada prinsipnya itu harus bereksperimentasi, melalui satu kegiatan-kegiatan yang menyenangkan buat mereka. Di dalam kewarga-negaraan ini di mana hak asasi manusia juga dimasukkan, itu juga diperkenalkan apa yang disebut dengan keberagaman. Guru-guru itu harus sejak dini memperkenalkan itu kepada siswa. Jadi misalnya pada hari pertama siswa masuk kelas, mereka memperkenal diri. Siswa itu masing-masing menyebutkan perbedaan fisik mereka di depan kelas. Misalnya rambut saya keriting, rambut saya lurus. Lalu guru itu harus bisa memberikan komentar positif tentang hal itu.

Itu salah satu hal yang sangat sederhana, bahwa manusia diciptakan berbeda. Lalu keperbedaan itu adalah suatu anugerah, dan kita semua memiliki hak yang sama walaupun kita berbeda. Bahwa kita ingin sama-sama untuk dihargai.

RN: Hak asasi manusia ini timbul atau muncul dari asas demokrasi. Demokrasi itu juga diartikan sama dengan kebebasan. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berpolitik. Nah bagaimana di Indonesia?

AA: Jadi di dalam pendidikan kewarganegaraan ini, juga diberikan kebebasan kepada siswa untuk berkesperimentasi dan juga menginterpretasi. Ada satu hal menarik misalnya di salah satu buku SMA yang baru diterbitkan ini, ada analisa media cetak. Di mana siswa SMA, ya ini bukan di universitas bahkan di SMA, itu diharuskan membuat klipping koran bagaimana mereka bisa mendikusikan kasus penyerbuan ke koran Tempo, karena pemberitaan peristiwa Tanah Abang.

Lalu siswa itu diharapkan untuk mendiskusikan itu, dan mempresentasikannya dengan power point. Dan mereka diajak juga untuk berdebat, bagaimana esensi dari kebebasan pers dan sebagainya. Jadi guru di sini tidak mendoktrin, tapi diberikan kebebasan juga kepada siwa itu. Dalam hal kebebasan pers ini, juga siswa diberikan ruang yang cukup untuk mendikusikannya itu dengan teman-teman mereka. Misalnya apakah koran Tempo dianggap terlalu berlebihan, atau bagaimana. Ataukah itu memang tugas dari sebuah media untuk memberitakan hal-hal seperti itu. Dan saya kira itu cukup baik, bisa diterapkan.

RN: Seperti yang bapak tadi sebutkan ada batasan ideologi, yah. Kan Indonesia sampai sekarang masih menganut Pancasila. Apakah itu juga tidak membatasi kesadaran HAM?

AA: Saya kira tidak. Seperti yang saya katakan, bahwa sebuah negara itu membutuhkan sebuah ideologi. Dan Pancasila itu adalah yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Saya melihat butir-butir Pancasila saya kira itu tidak ada yang salah sama sekali. Tapi masalahnya Pancasila itu disalahgunakan, dipakai, diperalat oleh rejim orde baru. Sekarang dengan adanya kebebasan, dengan adanya reformasi, maka semua unsur di masayarakat diberikan kebebasan untuk bisa menginterpretasikan itu. dan itu adalah melalui media pendidikan.

Demikian pakar pendidikan, Alpha Amirrachman.


* TAMPILNYA PARA BEJABAT BARU, LANGKAH SBY MENYENANGKAN PARA SOBAT?

Muhamad Lutfi masih gres betul dengan posisi barunya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM. Sebelumnya Lutfi dikenal sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia HIPMI dan Presiden Direktur grup Mahaka, yang bergerak pada industri pertambangan, listrik, perdagangan dan konstruksi. PT Mahaka milik Lutfi juga menguasai 50% saham PT Abdi Bangsa, penerbit harian Republika serta videotron, media iklan televisi luar ruang di Bundaran Hotel Indonesia dan Bundaran Senayan.

Untuk posisi barunya Kepala BKPM, Lutfi mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi. Ia pun konon tak tahu alasan di balik penunjukannya sebagai Kepala BKPM, apakah itu ada hubungannya dengan kedekatannya dengan Yudhoyono atau tidak.

M Lutfi: Saya nih belum diinform secara formal, jadi saya masih mau bicaranya .. belum mau bicara. Saya tuh belum ketemu, saya nanya sama beliau dong. Saya nggak bisa ngomong apa-apa kalau gitu. Yang dituding kan susah, mau gimana mbak.

Tahun lalu di masa pilpres, Lutfi memang dikenal sebagai anggota tim sukses Yudhoyono-Kalla. Lutfi banyak berurusan dengan media dan protokoler saat pasangan ini berkampanye.
Anggota tim sukses lain yang muncul ke permukaan adalah Joyo Winoto. Joyo disebut-sebut bakal menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN. Sejauh ini memang belum ada surat-surat resmi yang menandai posisi baru bagi Joyo Winoto ini.

Joyo juga berkarib dengan Presiden Yudhoyono. Ia berdiri di samping Yudhoyono tiga jam sebelum SBY mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Maret tahun lalu. Saat itu, Joyo adalah Direktur Eksekutif Bogor House of Enlightment atau Brighten Institute, lembaga pemikir di balik tim sukses Yudhoyono-Kalla. Joyo kemudian tercatat menjadi Dewan Pengarah Tim Kampanye pasangan ini di tingkat nasional.

Bekas Direktur Pangan, Pertanian dan Pengairan di Bappenas ini pernah menjadi dosen Yudhoyono ketika ia kuliah pasca sarjana IPB. Karena itu, Joyo dipercaya menggodok berbagai kebijakan ekonomi pasangan Yudhoyono-Kalla.

Begitu dekatnya Joyo dengan puncak kekuasaan, membuat orang menghubung-hubungkannya dengan pencalonan dirinya sebagai Kepala Badan Pertanahan Negara BPN. Apalagi penunjukan kepala sebuah badan semacam BPN itu murni di tangan presiden, alias prerogatif.
Nama lain yang juga ada di jajaran tim sukses Yudhoyono-Kalla adalah Irzan Tanjung. Pemilik Bank Mega ini nyaris duduk di jalur utama kekuasaan ketika disebut-sebut bakal menjadi Menteri Keuangan.
Bagaimana nih Pak, belum kebagian?

Irzan Tanjung: Yah, yang menilai saya kan orang lain, bukan saya sendiri. Gini, orang yang bisasa bekerja, ditugaskan apa saja ya mesti bersedia. Tapi dalam artian saya dijanjiin apa-apa, ya nggak lah. Sekarang toh sudah bagus, saya kan anggota DPR, berat, serius, kalau bicara soal tanggung jawab, nggak masalah. Tugas ini saya kira, nggak kalah pentingnya dengan yang lain-lainnya.

Berdekat-dekat ke pusat kekuasaan memang bukan mainan baru di dunia politik manapun juga. Pengamat politik Sukardi Rinakit mengatakan, ini pasti disadari betul oleh mereka yang berkuasa dan mereka yang mendekati kekuasaan itu.

Apakah Yudhoyono sedang membalas budi teman-teman tim suksesnya dulu? Jelas ya. Lagi-lagi, Yudhoyono-Kalla serta tim sukses mereka, ibarat magnet yang saling tarik menarik.

Sukardi Rinakit: Setelah kekuasaan terjadi, langkah politik rasional selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan, sesuai Undang-undang, bahkan kalau perlu, kalau bisa mengubah UU. Siapa pun yang tergabung dalam tim sukses, memang harapannya akan menjadi pejabat. Itu riil saja. Harapannya, kala kandidat yang mereka dukung itu menjadi presiden dan wakil presiden, mereka berharap menjadi pejabat. Mereka berharapnya menjadi menteri, tentu.

Artinya, tinggal niat baiknya saja yang bisa kita titipkan kepada orang-orang yang ditunjuk Presiden untuk menjabat posisi tertentu. Goyangan dari partai lain, yang mungkin tidak setuju dengan pilihan ini, menurut Sukardi, tak akan banyak berarti. Karena secara politik, memang masuk akal saja kalau seorang presiden memperkuat lingkaran kekuasaannya.
Yang mesti diwaspadai cuma satu: abuse of power, alias penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyalahgunaan kekuasaan biasanya cuma berbuntut satu, korupsi. Tapi bukankah presiden yang satu ini bersemboyan memberantas korupsi?

Tim liputan 68H melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.
---------------------------------------------------------------------Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversumhttp://www.ranesi.nl/http://www.rnw.nl/
Keterangan lebih lanjut mengenai siaran radio kami dapat Andaperoleh melalui[EMAIL PROTECTED]
Copyright Radio Nederland Wereldomroep. ---------------------------------------------------------------------Warta Berita - Radio Nederland, 05 Mei 2005 Radio Nederland Berita list manager

No comments: